Mitos Legenda Danau Toba

Hi semua, saya ingin berbagi cerita mitos atau mungkin bsa dibilang sebuah urban legend mengenai Danau Toba. Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda biasanya disebut dg (doli) dg tantenya di bagian utara Pulau Sumatera. Si doli na poso itu hidup sebagai seorang petani di Lembah Batak. Singkat cerita, pada suatu musim paceklik, kesulitan besar mulai menerpa kawasan itu. Perseiaan bahan maknan menipis.

Tak ada cara lain, untuk mengisi perut hari ini, si doli hanya bsa mengkamulkan pancingnya. Ketika matahari baru terbit, ia pergi memancing ke sebuah sungai. Tapi sampai tengah hari, ia belum mendptkan satu pun ikan. Matahari mulai tenggelam, dan perutnya mulai berdendang karena lapar. Akhirnya si doli putus asa. Ia baru saja mau melangkah pulang ketika melihat seekor ikan besar dan indah mendekatinya di tepian sungai. Warnanya kuning emas. Karena jinaknya, si doli berhasil memancing ikan itu, dan ia segera membawanya pulang.

Sesampai di rumah, rasa laparnya tak tertahankan lagi. Ia hendak memasak ikan mas itu. Tetapi sejenak kemuian ia baru menyadari betapa indahanya ikan aneh itu. Ia tertegun beberapa lama melupakn rasa laparnya, sampai akhirnya ia mengurungkan niatnya memasak ikan itu dan memutuskan untuk memeliharanya. Apa boleh buat, malam ini si doli hanya dpt menghabiskan sisa stok maknan yang kian menipis.

Singkat cerita, musim yang melelahkan itu pun berlalu. Fajar pagi menyambut riang seiring tibanya musim tanam tahun ini. Dengan ceria, si doli memulai hidupnya untuk menyemai padi di ladang hingga tengah hari. Ketika matahari tepat di atas kepala, ia pulang ke rumah hendak makn siang. Tetapi alangkah terkejutnya si doli ketika melihat di meja mungil dalam rumahanya telah terseia hidangan yang siap untuk dimakn. Semuanya tampak sangat lezat, tidak seperti biasanya.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Jangan-jangan tante telah memasak ikan kesayangan hasil pancingannya. Si doli lari terbirit-birit ke belakng. Syukurlah, ikan itu masih utuh dan berenang gembira di tempatnya. Lama ia berpikir, siapa yang menyeiakn maknan di meja, sedangkan tantenya sedang tak ada di rumah dan kalaupun tantenya ada, ia tak biasanya memasak selezat itu. Tetapi karena perutnya sudah lapar, akhirnya si doli pun menyantap semua maknan dg lahapnya. Ini hanya terjadi sekali-sekali, pikirnya.

Tapi tidak. Keesokan harinya, kejaian yang sama ternyata terulang kembali. Ini makin aneh dan membuat si doli curiga. Pada hari ketiga, ia berniat untuk mengetahui siapa sebenarnya yang melsayakan hal itu. Dengan satu siasat, si doli berpura-pura mau berangkat ke ladang, tapi di tengah jalan ia memutar arah dan kembali ke rumah untuk mengintip siapa yang melsayakan semuanya. Saat sang tante juga beranjak pergi ke ladang, si doli menyelinap di antara pepohonan dekat rumahanya. Lama ia menunggu, namun asap di dapur rumahanya belum juga terlihat, dan ia pun berniat untuk pulang karena telah bosan menunggu. Namun begitu akn keluar dari persembunyiannya, ia mulai melihat asap di dapur. Dengan perlahan-lahan, ia berjalan menuju belakng rumah.

Sesaat kemuian, parasnya berubah. Ia terpana. Betapa tidak, ketika ia mengintip dari celah dinding dapur rumahanya, seorang boru nauli, wanita yang sangat cantik dan ayu, berambut panjang, sedang memasak di dapur tua dan reot itu. Kulitnya bersinar dan sangat kontras dg kayu-kayu rapuh yang mulai dimakn rayap. stlah pikiran sehatnya kembali, si doli memasuki rumahanya dan langsung menangkap si boru nauli tersebut.

Lalu ia berkata “Wahai, Boru nauli (gadis yang cantik), siapakah engkau, dan darimana asalmu?”.

Wanita itu tertunduk iam, dan mulai meneteskan air mata. Pada saat yang sama, pemuda itu tidak melihat ikan nya lagi di dalam wadah. Ia pun bertanya pada wanita itu.

“Wahai, boru nauli kemanakah ikan yang di dalam wadah ini? Apa yang telah kau lsayakan padanya?”

Wanita itu malah semakin menangis tersedu-sedu. Namun si doli terus memaksa, hingga akhirnya wanita ayu itu memberikan pengsayaan yang mengejutkan. “Akulah ikan yang kau pancing itu”. Si doli teriam beberapa saat. Sebentar ia memkamung wadah ikan yang kosong, sebentar kemuian terpana menikmati paras gadis cantik itu. Karena masih terus menangis, si doli akhirnya mencoba membujuk si boru nauli.

Pada saat itu, ia mulai merasa jatuh suka pada gadis itu. Ia begitu terpesona dan sebelum segala sesuatunya berubah menjadi sesuatu yang tidak ia harapkan, ia pun nekat berkata “Oh, boru nauli, maukah engkau menjadi istriku?”. Namun si boru nauli itu hanya teriam dan tertunduk. Melihat keadaan si boru yang tetap membisu, si doli pun kembali bertanya, “Mengapakah engkau iam?”.

Sesaat kemuian si boru nauli itu pun berkata seraya mengangkat wajahanya yang jelita. Matanya masih sembab, menatap sayu lelaki yang telah berbaik hati memeliharanya selama ini. “Aku mau menjadi istrimu, tetapi dg satu syarat”

“Apakah syarat itu?” potong si pemuda tak sabar.

Si boru nauli berkata, “Kelak, jika anak kita lahir dan tumbuh, janganlah pernah engkau katakn bahwa dirinya adalah anak ni dekke (anak ikan)”. Angin tiba-tiba masuk dari arah danau. Aroma tubuh gadis itu menyebar wangi, seperti bau sertante kembang dataran tinggi yang mekar di pagi hari. Harumnya sampai ke hidung si doli, menyelusup ke sistem syarafnya, dan ia hanya setengah sadar ketika mengatakn “Ya, saya sanggup memenuhi syaratmu!”.

Di tengah hari yang terik itu, si doli bersumpah di bawah matahari, apabila dia kelak memiliki anak, maka ia tidak akn pernah memanggilnya dg sebutan anak ni dekke. Hingga suatu saat kemuian, dia telah memiliki seorang anak laki-laki. Si ucok (anak laki-laki dalam masyarakat Toba) itu rupanya tumbuh sangat bandel dan tak pernah mendengarkan nasehat orang tuanya. Pada suatu hari, sang tante menyuruh anaknya untuk mengantar nasi ke ladang di mana ayahanya bekerja. Anak itu pun pergi mengantar nasi kepada damang (ayah), namun di tengah perjalanan, ia keasyikan bermain hingga merasa lapar. Bocah itu kemuian membuka maknan yang dtantengkus untuk damang-nya, dan menghabiskannya.

stlah selesai memaknnya, kemuian ia membungkusnya kembali dan melanjutkan perjalanan. Sesampai di ladang, ia menyerahkan bungkusan tersebut kepada damang. Dengan sangat senang, sang ayah menerimanya, lalu duduk dan segera membuka bungkusan nasi yang dititipkan istrinya. Alangkah terkejutnya damang melihat isi bungkusan tersebut.

Dia bertanya kepada anaknya. “Hai anakku, mengapa isi bungkusan ini hanya tulang ikan belaka?”,
dan anaknya menjawab “Di perjalanan tadi, perutku terasa lapar, jadi saya memaknnya, Damang”. Mendengar itu, damang emosi bukan main. Dengan kuat ia menampar pipi anaknya sambil berkata, “Botul maho anak ni dekke (Dasar engkau anaknya ikan)”.

Mendengar perkataan ayahanya, si ucok menangis dan berlari pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia menanyakn apa maksud perkataan ayahanya. Ia menceritakn ulang kata-kata ayahanya sambil terus menangis. Mendengar hal itu, tantenya sedih dan marah. Suamiku telah melanggar sumpahanya dan sekarang saya harus kembali ke alamku, pikirnya.

Hujan air mata membasahi tubuh kedua insan itu. Secara bertahap, dia berubah kembali menjadi ikan. Saat itu, langit mulai gelap. Hujan badai turun dg derasnya, bersamaan dg raibnya sang anak dan tante. Dari bekas telapak kaki dia muncul mata air yang mengeluarkan air sederas-derasnya hingga membentuk sebuah danau, yang kelak diberi nama “Danau Tuba” yang berarti danau yang tak tahu belas kasih. Berikutnya, karena logat Batak yang agak kasar dan tegas, maka nama tersebut berubah menjadi “Danau Toba”.

Berdasarkan warga dg bantuan partopi Tao Toba (orang-orang yang tinggal di pinggiran Danau Toba), si boru nauli dan anaknya masih hidup sampai sekarang di perairan Danau Toba. Di lokasi lokasi penelitian kami beberapa tahun terakhir ini Balige, Parapat, Pangururan, kawasan Haranggaol dan Tongging. Tak satu daerah pun yang menyangkal bahwa Danau Toba memiliki 3 ekor ikan mas yang sangat besar. Ketiga ikan itu memiliki 3 warna khas bangso Batak (bonang manalu), yaitu merah, hitam, dan putih. Menurut masyarakat partopi tao yang bekerja sebagai pencari ikan maupun pengemudi perahu transport, dia kadang melihat ikan tersebut melintasi tao (danau) bersama rombongannya. Bahkan sebagian dari dia, ada yang sudah berulang kali melihat “penampakn nya”.

Sebutan terhadap ikan-ikan raksasa itu pun bermacam-macam di setiap daerah. Di Parapat, misalnya, orang menyebutnya dg namboru (bibi), sedangkan di kawasan Tao Silalahi disebut dg turbo. Ikan-ikan tersebut memiliki tiga ukuran yang berbeda. Satu berukuran perahu kecil (solu) atau kurang lebih 4 meter. Yang dua ekor lagi diperkirakn berukuran antara 6 sampai 10 meter.

Nelayan di perairan Danau Toba selalu gelisah apabila rombongan tersebut melintas, karena doton (alat berupa perangkap jala untuk menjaring ikan) selalu robek tak karuan dtanteatnya. Namun sebagian nelayan justru merasa beruntung karena terkadang rombongan tersebut meninggalkan seekor ikan mas berukuran 2-3 kg di jaring doton yang masih tersisa.

Bagi yang sudah mengerti, dia akn beriam diri saja apabila melihat ikan-ikan ini. Mereka yakin, makhluk-makhluk itu adalah penunggu yang meniami danau vulkanik terluas dan tertinggi di dunia itu. Danau Toba memang banyak menyimpan misteri yang belum dpt dijelaskan dg ilmu pengetahuan dan logika manusia. Maknya danau ini juga menyimpan penjelasan metafisika yang kaya, mulai dari legenda hingga kebudayaan yang berakar dari karakter Danau Toba sendiri.

Penasaran?, silahkan berkunjung ke Danau Toba, bahkan pernah muncul slogan yang mengatakn “Orang batak jangan mati sebelum injak danau toba dan pulau samosir”.


EmoticonEmoticon